INDEKS DAYA SAING DAERAH (IDSD)
Tingkat daya saing merupakan salah satu kriteria untuk menentukan keberhasilan dan pencapaian sebuah tujuan yang lebih baik oleh suatu negara atau wilayah dalam peningkatan produktivitas, pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Peringkat daya saing tersebut seringkali menjadi penilaian kinerja perekonomian dan mengindikasikan tingkat efisiensi ekonomi suatu negara dalam persaingan ekonomi global dan daya saing daerah yang merupakan ujung tombak untuk meningkatkan daya saing nasional.
Berlatar belakang hal tersebut Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Ristekdikti) mengembangkan model pengukuran Indeks Daya Saing Daerah (IDSD) dengan tujuan antara lain: 1) Memetakan indeks daya saing disetiap daerah baik Provinsi, Kabupaten maupun Kota; 2) Menjadikan indeks daya saing daerah sebagai bahan dalam perumusan, penetapan, evaluasi dan monitoring kebijakan, serta program dan kegiatan pembangunan daerah; 3) Menjadikan indeks daya saing daerah sebagai alat dalam proses harmonisasi berbagai kebijakan dan program.
Indeks Daya Saing Daerah (IDSD) ini disusun melalui kajian teoritis dan empiris dari berbagai model indeks yang dikeluarkan oleh berbagai Lembaga nasional maupun internasional seperti: Indeks Inovasi Daerah (LAN), Innovative Government Award (Kemendagri), Global Competitiveness Index (WEF), GII (GII-Johnson Cornell University, WIPO dan instead), ACI (Asian Competitiveness Institute) dan berbagai hasil studi daya saing daerah lainnya. IDSD ini tersusun dengan 4 Aspek, 12 Pilar, 23 Dimensi dan 78 Indikator/Kuisioner. Di tahun 2017 telah dilakukan uji terap pada Kabupaten Aceh Jaya (Provinsi Aceh), Kabupaten Bogor (Provinsi Jawa Barat), Kota Pekalongan (Provinsi Jawa Tengah), Kota Surabaya (Provinsi Jawa Timur), Kabupaten Jeneponto (Provinsi Sulawesi Selatan) dan Kabupaten Banggai (Provinsi Sulawesi Tengah). Sementara di tahun 2018 IDSD digunakan sebagai salah satu instrument dalam penilaian anugerah iptek dan inovasi dalam rangka peringatan HAKTEKNAS Ke-23 yang diikuti oleh 70 Kabupaten/Kota dan 13 Provinsi untuk kemudian akan dikembangkan dan digunakan pada setiap peringatan HAKTEKNAS. Untuk efektifitas dan efisiensi, dalam pelaksanaan pengukuran IDSD telah menggunakan aplikasi secara online (http://indeks.inovasi.ristekdikti.go.id) yang dapat diakses secara luas oleh berbagai kalangan terutama para responden di daerah baik tingkat provinsi, kabupaten maupun kota. Dan pada tahun 2019 ini untuk Anugerah Iptek Inovasi, dengan mengadopsi IDSD sebagai salah satu instrument dan indikator telah dikembangkan berdasarkan pemeringkatan sebelumnya menjadi 78 indikator.
Dengan adanya pengembangan indikator/kuisioner diperlukan penyesuaian pemahaman kepada para responden dalam hal ini calon peserta (Pemerintah Daerah), dalam hal tersebut dipandang perlu melakukan kegiatan bimbingan terhadap Pemerintah Daerah untuk proses pengisian maupun penyamaan pamahaman terhadap kuisioner IDSD.
Setelah mengikuti bimbingan teknis peserta diharapkan mampu memahami dan mengimplementasikan pengukuran dan pemetaan Indeks Daya Saing Daerah (IDSD).
Peserta bimbingan teknis mampu:
KLASTER INOVASI
Program pemberian bantuan Pendanaan Perumusan dan Pendampingan Klaster Sistem Inovasi (P3KI) berbasis produk unggulan daerah sebagai kegiatan inisiasi awal yang dapat memacu untuk pengembangan/penguatan Klaster Sistem Inovasi di daerah telah diluncurkan pada tahun 2017.
Program P3KI ini bertujuan untuk menumbuhkan budaya inovasi yang didukung oleh jaringan inovasi yang kuat diantara anggota Klaster Sistem Inovasi yang terdiri dari akademisi, bisnis, pemerintah dan komunitas (ABG+C). Terjadinya inovasi adalah salah satu tujuan pengembangan Klaster Sistem Inovasi yang ditunjukkan dengan adanya transfer teknologi, kontribusi industri dalam aktifitas riset dan pengembangan, dan produk barang/jasa yang dihasilkan.
Peluang dan tantangan yang dihadapi saat ini, dibutuhkan perubahan paradigma pembangunan. Konsep Klaster Sistem Inovasi, merupakan salah satu alternatif yang dipandang sesuai dengan konteks dinamika perubahan yang berkembang dan keragaman karakteristik daerah di Indonesia.
Klaster Sistem Inovasi pada dasarnya bukan konsep yang sama sekali baru. Namun sejalan dengan perkembangan jaman, telaah konsep/teori dan pengalaman empiris berbagai pihak berkembang dari waktu ke waktu. Beragam definisi dan konsep tentang Klaster Sistem Inovasi dapat dijumpai dalam berbagai literatur.
Definisi Klaster Sistem Inovasi adalah kumpulan yang terdiri dari pemula inovatif (kecil, menengah dan besar), lembaga riset dan institusi lainnya yang memiliki keserupaan atau atas dasar karakteristik tertentu dan beroperasi pada sektor dan regional yang sama dan didisain untuk meningkatkan aktivitas inovasi dengan mendorong interaksi secara intensif, sharing fasilitas dan pertukaran pengetahuan dan berkotribussi secara efektif dalam proses alih teknologi, jejaring dan penyebaran informasi
Pengembangan Klaster Sistem Inovasi merupakan jembatan yang dapat memfasilitasi komunikasi yang intensif dan kerjasama antara perguruan tinggi, industri, pemerintah dan komunitas. Oleh karena itu pengembangan atau penguatan Klaster Sistem Inovasi merupakan salah satu alternatif pendekatan yang dinilai efektif untuk membangun keunggulan daya saing khususnya untuk peningkatan daya saing produk unggulan daerah dan pembangunan ekonomi daerah pada umumnya. Bagi pelaku ekonomi seperti Industri Kecil dan Menengah (IKM), pendekatan Klaster Sistem Inovasi membantu upaya yang lebih fokus bagi terjalinnya kemitraan saling menguntungkan dan pengembangan jaringan inovasi dan bisnis yang luas. Sementara itu, bagi pembuat kebijakan dan/atau pihak berkepentingan lainnya, pendekatan ini memungkinkan potensi skala pengaruh dari kebijakan dan program, dan cakupan dampaknya yang signifikan bagi perekonomian dan daya saing daerah.
Pendekatan Klaster Sistem Inovasi tidak sekedar sebagai konsep tetapi juga sebagai platform nasional, baik dalam konteks pembangunan ekonomi (nasional dan daerah) berbasis pengetahuan, khususnya IKM serta peningkatan daya saing produk inovasi daerah. Peningkatan daya saing daerah saat ini membutuhkan usaha yang sangat memakan waktu sehingga akan menghambat pembangunan ekonomi. Dalam rangka memperbaiki kelemahan tersebut, mengoptimalkan pendayagunaan potensi setempat, dan mewujudkan produk inovasi daerah yang kompetitif dan berdaya saing di daerah, basis produksi dan distribusi dari hulu sampai ke hilir perlu ditata kembali dan dikembangkan secara sinergis dengan semakin bertumpu pada potensi terbaik dan karakteristik lokal/setempat masing-masing daerah.
Pendekatan Klaster Sistem Inovasi dilakukan melalui peningkatan peran perguruan tinggi sebagai salah satu elemen yang mempunyai peran penting dalam pembangunan sumber daya manusia yang mampu menciptakan invensi dan inovasi untuk mendukung pertumbuhan ekonomi daerah berbasis sumber daya lokal. Perguruan tinggi dapat menjadi pusat unggulan yang menghasilkan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan industri di daerah tempat perguruan tinggi tersebut berada. Sehingga harapan masyarakat yang menginginkan perguruan tinggi menjadi agent of region economic development dapat terwujud.
Untuk menginisiasi dan memacu pengembangan/penguatan Klaster Sistem Inovasi daerah diperlukan adanya bantuan pendanaan dari pemerintah pusat atau daerah, dan hal ini sesuai dengan UU No. 18 tahun 2002, Pasal 21, pemerintah dan pemerintah daerah berperan mengembangkan instrumen kebijakan. Instrumen kebijakan sebagaimana dimaksud dapat berbentuk dukungan sumber daya, dukungan dana, pemberian insentif, penyelenggaraan program iptek, dan pembentukan lembaga.
Dalam rangka mendukung hal tersebut, maka salah satu instrumen kebijakan yang akan dilaksanakan untuk meningkatkan pemanfaatan hasil riset PT berbasis pengembangan Klaster Sistem Inovasi adalah pemberian bantuan Pendanaan Perumusan dan Pendampingan Klaster Sistem Inovasi (P3KI) sebagai kegiatan inisiasi awal yang dapat memacu untuk pengembangan/penguatan kalster inovasi di daerah.
Dan untuk melihat capaian kinerja dari kegiatan P3KI sesuai dengan tujuan dari pengembangan Klaster Sistem Inovasi selain melakukan evaluasi kegiatan di lapangan maka diperlukan juga Rakor dan Workshop guna memberi masukan dan penyempurnaan dalam Penyusunan Masterplan Model Pengembangan Klaster Sistem Inovasi berbasis Produk Unggulan. Rakor dan Workshop ini juga menjadi bahan masukan buat Lembaga Penerima agar output dan outcome sesuai dengan yang pernah dijanjikan pada proposal kegiatan.Rakor dan Worshop ini juga melibatkan Direktorat yang berada dalam Unit Utama Kemenristekdikti sehingga arah dan kebijakan masing-masing Direktorat dapat memberikan masukan dan dukungan dalam pengembangan Klaster Sistem Inovasi berbasis Produk Unggulan Daerah
Sasaran yang ingin dicapai adalah:
Luaran dari program ini adalah Laporan Akhir Administrasi dan Laporan Substansi yaitu Masterplan Pengembangan Klaster Sistem Inovasi berbasis produk unggulan daerah.
Untuk memperkuat dan mempertajam Masterplan Model Pengembangan Klaster Sistem Inovasi berbasis Produk Unggulan Daerah agar dapat dipergunakan oleh Stakeholder Pusat maupun Daerah secara kebijakan maupun bisnis
Ruang lingkup Klaster Sistem Inovasi adalah:
Model dan Strategi Implementasi Klaster Sistem Inovasi Berbasis Produk Unggulan Daerah :
KLASTER INOVASI
Pengukuran dan Penetapan Tingkat Kesiapan Inovasi (KATSINOV) atau Innovation Readiness Levels (IRL) merupakan upaya menjawab tuntutan kebutuhan akan alat ukur yang dapat menggambarkan perkembangan inovasi dan mengimplementasikan inovasi diatas siklus-hidup yang lebih efektif. Pedoman Pengukuran dan Penetapan Tingkat Kesiapan Inovasi tersebut telah diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Penguatan Inovasi Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Nomor: 030/F/Kp/XI/2017 tentang Pedoman Pengukuran dan Penetapan Tingkat Kesiapan Inovasi.
Pengukuran dan Penetapan KATSINOV diperlukan sejak penelitian baru dimulai dan sekaligus menjadi pemandu aspek manajerial proses inovasi. Dengan demikian, peranan Manajemen Inovasi sangat penting dalam mengorganisasikan proses inovasi melalui tahapan siklus inovasi. Pengelolaan inovasi ini mencakup bagaimana aspek teknologi, pasar, organisasi, kemitraan, manufaktur, investasi dan risiko dapat dikelola secara optimal agar produk inovasi dapat menjadi solusi dan dimanfaatkan oleh masyarakat, serta memberikan menciptakan daya saing secara berkelanjutan bagi perusahaan.
Metode Pengukuran dan Penetapan KATSINOV ini diterapkan agar langkah inovasi bisa lebih cepat atau siklus hidup menjadi lebih singkat, untuk menghadapi persaingan yang sengit. Hal ini karena metode pengukuran ini dirancang mampu menggambarkan perkembangan inovasi serta membantu mengimplementasikan inovasi diatas siklus-hidup yang lebih efektif.
Sebagai tindak lanjut dari kebijakan dan program tentang Pengukuran dan Penetapan KATSINOV, Direktorat Sistem Inovasi – Direktorat Jenderal Penguatan Inovasi – Kemenristekdikti memprogramkan menyelenggarakan Bimbingan Teknis (Bimtek) Pengukuran Tingkat Kesiapan Inovasi para pihak yang diharapkan menjadi fasilitator yang dapat mempercepat proses sosialisasi penggunaan Alat Ukur KATSINOV.
Pentingnya Manajemen Inovasi
Meskipun saat ini banyak informasi dari berbagai media yang menginspirasi orang untuk lebih kreatif yang pada akhirnya banyak ide-ide terkumpul, namun kebanyakan ide-ide yang paling inovatifpun tidak menjamin akan menjadi produk-produk baru yang berhasil. Banyak penelitian mengungkapkan bahwa hanya satu dari beberapa ribu ide yang menghasilkan sebuah produk baru yang berhasil.
Banyak proyek yang gagal menghasilkan produk-produk yang layak secara teknis namun banyak yang gagal untuk dikomersialkan. Menurut satu penelitian yang mengkombinasikan data dari studi-studi terdahulu tentang tingkat keberhasilan inovasi dengan data tentang paten-paten, pembiayaan modal usaha, dan survei-survei, dibutuhkan sekitar 3.000 ide mentah untuk menghasilkan satu produk baru yang berhasil secara komersial.
Pada industri farmasi diperlihatkan fakta ini dengan baik yaitu, hanya satu dari setiap 5000 senyawa yang menghasilkan produk baru, dan hanya sepertiga dari mereka ini yang akan cukup berhasil untuk mengganti biaya-biaya riset dan pengembangannya. Lebih lanjut, dibutuhkan waktu sekitar 15 tahun dari penemuan hingga peluncuran sebuah obat ke pasar, dengan total biaya sekitar 388 juta dolar.
Proses inovasi ini karenanya sering digambarkan sebagai sebuah corong, di mana banyak ide-ide produk baru yang potensial memasuki sebuah ujung corong yang lebar, tetapi sangat sedikit yang berhasil melewati proses pengembangannya.
Tingkat Kesiapan Inovasi (Innovation Readiness Levels)
Tao, etc. (2008) menyatakan bahwa ketika penelitian dimulai, maka kebutuhan dari sisi pendekatan manajerial meningkat dalam rangka mendukung proses inovasi. Dengan demikian, peranan manajemen inovasi menjadi sangat penting dalam rangka pengelolaan inovasi dalam organisasi melalui tahapan siklus inovasi (lihat Gambar 1). Pengelolaan inovasi ini mencakup bagaimana aspek teknologi, pasar, organisasi, mitra, manufaktur, investasi, dan risiko dapat dikelola secara optimal agar produk inovasi dapat menjadi solusi dan dimanfaatkan oleh masyarakat, serta memberikan menciptakan daya saing secara berkelanjutan bagi perusahaan.
Pada prinsipnya Kerangka Tingkat Kesiapan Inovasi (KATSINOV) dibangun atas:
1) Manajemen Inovasi (Innovation Management), yang merupakan 7 (tujuh) aspek kunci, yaitu: aspek teknologi, pasar, organisasi, kemitraan, risiko, manufaktur, dan investasi. Di setiap aspek kunci ini untuk masing-masing level KATSINOV terdapat beberapa aktivitas kunci yang merupakan indikator kemajuan dari proses inovasi teknologi.
2) Siklus Hidup Inovasi (innovation lifecycle), yang merupakan 6 (enam) level KATSINOV, yaitu:
Secara diagram, hubungan antara Siklus Hidup Inovasi (innovation lifecycle) yang merupakan 6 (enam) level KATSINOV dan Manajemen Inovasi (Innovation Management) yang merupakan 7 (tujuh) aspek kunci yang didalamnya terdapat beberapa aktivitas kunci yang merupakan indikator kemajuan dari proses inovasi teknologi
MANAJEMEN INOVASI PERGURUAN TINGGI
LATAR BELAKANG
Salah satu unsur dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi bangsa dinilai dari kemampuan bangsa untuk melakukan inovasi. Hal ini dikarenakan inovasi dapat memacu peningkatan produktivitas berkelanjutan yang dapat menjadi katalis dalam pertumbuhan ekonomi. Selaras dengan visi pembangunan nasional sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang No. 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005 – 2025 (Republik Indonesia, 2007), maka visi Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia adalah “Mewujudkan masyarakat indonesia yang mandiri, maju, adil, dan makmur dengan struktur perekonomian yang kokoh berlandaskan keunggulan kompetitif”.
Sejalan dengan tuntutan dan tantangan pembangunan nasional, dalam hal terwujudnya peningkatan daya saing dan kemandirian nasional, diperlukan suatu upaya untuk dapat meningkatkan peran strategis perguruan tinggi dalam menghasilkan luaran riset yang berbasis inovasi sebagai suatu bagian dari kewajiban pelaksanaan Tridharma perguruan tinggi, khususnya dalam pengabdian kepada masyarakat. Menurut UU Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (UU SiNas P3 Iptek), inovasi adalah kegiatan penelitian, pengembangan, dan/atau perekayasaan yang bertujuan mengembangkan penerapan praktis nilai dan konteks ilmu pengetahuan yang baru, atau cara baru untuk menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada ke dalam produk atau proses produksi. Sedangkan menurut Rancangan Undang-Undang Pengganti UU SiNas P3 Iptek, inovasi adalah hasil pemikiran, penelitian, pengembangan, penerapan dan/atau perekayasaan yang mengandung unsur kebaharuan dan telah diterapkan serta memberikan kemanfaatan ekonomi dan/atau sosial budaya.
Dalam pengertian tersebut mengandung pemahaman bahwa suatu hasil penelitian (invensi) hanya dapat dikatakan sebagai inovasi jika penelitian tersebut mampu dikomersialisasi atau dihilirisasi ke industri dan masyarakat. Namun, kegiatan penelitian dan pengembangan yang diselenggarakan di perguruan tinggi belum optimal dalam menghasilkan inovasi sebagaimana yang diharapkan (Pannen, 2016).
Menurut hasil kajian Manajemen Inovasi Perguruan Tinggi (2017) ditemukan bahwa inovasi yang berbasis penelitian di perguruan tinggi masih sangat minim. Selain itu juga, berdasarkan Laporan Laboratorium Kepemimpinan Proyek Perubahan Pelembagaan Manajemen Inovasi di Perguruan Tinggi (2016), ditemukan bahwa Perguruan Tinggi belum dapat berperan besar dalam menghasilkan inovasi seperti apa yang diharapkan. Sebagian besar proses penciptaan inovasi di PT berhenti pada tahap penelitian sehingga terjadi kekosongan antara PT dengan industri untuk tahap pengembangan inovasi selanjutnya. Untuk itu diperlukan langkah nyata yang dapat meningkatkan kapasitas dan kapabilitas perguruan tinggi dalam mengelola proses inovasi.
Menyadari kondisi tersebut, maka perlu adanya penyelenggaraan manajemen inovasi perguruan tinggi yang dapat berperan secara optimal dalam memfasilitasi proses inovasi, melalui kolaborasi dan sinergi yang harmonis antara perguruan tinggi, industri, pemerintah, serta masyarakat pelaku Iptek atau yang lazim disebut sebagai academic, business, government dan community (ABGC). Untuk itu dipandang perlu adanya kebijakan teknis yang mengatur tatakelola dan tatalaksana penyelenggaraan manajemen inovasi di perguruan tinggi.
Apabila menilik pada praktek perguruan tinggi terkemuka dunia penyelenggaraan manajemen inovasi dilakukan oleh lembaga khusus yang bertugas untuk memfasilitasi proses inovasi yang dilakukan oleh aktor inovasi di perguruan tinggi. Lembaga ini sesuai dengan tujuannya adalah lembaga strategis yang berfungsi dalam dalam melakukan hilirisasi hasil riset di perguruan tinggi baik yang dilakukan oleh sivitas akademika.Lembaga khusus yang disebut diatas mampu menjadi alternatif sumber penghasilan bagi perguruan tinggi.
Dengan demikian, dalam upaya meningkatkan keterlibatan perguruan tinggi dalam kerangka penguatan inovasi nasional, Direktorat Sistem Inovasi memandang perlu menerbitkan Panduan Umum Penyelenggaraan Manajemen Inovasi Perguruan Tinggi sehingga kinerja perguruan tinggi dalam menghasilkan inovasi semakin meningkat. Hal ini sejalan dengan perubahan paradigma perguruan tinggi sebagai menara gading menjadi Perguruan Tinggi sebagai menara air yang dapat membantu memberikan solusi berbagai permasalahan masyarakat melalui inovasi yang dihasilkannya.
DASAR HUKUM
Dasar hukum dalam penyusunan panduan ini antara lain:
TUJUAN DAN SASARAN
Tujuan dari dikeluarkannya panduan ini adalah:
Adapun sasaran dari yang ingin dicapai antara lain: